twitter
rss

Buah hati adalah amanah ilahi yang amat berharga, dia bukan hanya sebagai penyejuk pandangan mata dan hati bagi orang tuanya namun lebih dari itu dia adalah investasi terbesar dunia terlebih akhirat. Bagaimana sang buah hati dapat menjadi aset berharga sekaligus penyejuk jiwa? tentu kita sebagai orang tua harus bijak dalam mendidiknya, tidak berlemah-lemah namun juga tidak berlebihan dalam memberi kasih sayang serta pengajaran. Harus pada porsi yang pas.
Mari belajar bagaimana menjadi orang tua bijak…
  • Pahami anak sebagai individu yang berbeda. Seorang anak dengan yang lainnya memiliki karakter yang berbeda. Memiliki bakat dan minat yang berbeda pula. Karenanya, dalam menyerap ilmu dan mengamalkannya berbeda satu dengan yang lainnya. Sering terjadi kasus, terutama pada pasangan muda, orangtua mengalami “sindroma” anak pertama. Karena didorong idealisme yang tinggi, mereka memperlakukan anak tanpa memerhatikan aspek-aspek perkembangan dan pertumbuhan anak. Misal, anak dipompa untuk bisa menulis dan membaca pada usia 2 tahun, tanpa memerhatikan tingkat kemampuan dan motorik halus (kemampuan mengoordinasikan gerakan tangan) anak. َاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (At-Taghabun: 16)
Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apabila aku melarangmu dari sesuatu maka jauhi dia. Bila aku perintahkan kamu suatu perkara maka tunaikanlah semampumu.” (HR. Al-Bukhari, no. 7288)
Kata مَا اسْتَطَعْتُمْ (semampumu) menunjukkan kemampuan dan kesanggupan seseorang berbeda-beda, bertingkat-tingkat, satu dengan lainnya tidak bisa disamakan. Ini semua karena pengaruh berbagai macam latar belakang.
Nb. Sering kali orang tua senang membanding bandingkan anaknya dengan anak orang lain kadang dengan tujuan mengetahui apakah perkembangan anaknya termasuk lambat atau cepat, hal ini sebenarnya tidak terlalu bagus juga karena bila anak kita ternyata kurang maka hati kita timbul rasa sedih, merasa gagal atau dampak ke anak jadi lebih menuntut anak diluar kemampuannya, dan bila ternyata anak kita lebih dari anak lain maka kadang timbul ujub atau meremehkan orang lain. Lalu bagaimana sebaiknya mengetahui perkembangan anak? merujuklah pada buku2 perkembangan anak yang ditulis oleh ahlinya lebih bagus jika dapat merujuk yang sesuai manhaj yang shohih, jadi kita bandingkan saja dengan standar yang sudah ada, bukan dengan anak orang lain. Percayalah ‘ each baby is unic’ Buah hati kita punya pola tumbuh kembang sendiri.
  • Memberi tugas hendaklah sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak.
لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
NbContohnya karena terobsesi dengan buku “the Amazing Child” dimana si Tabba taba’i dapat menghafal Qur’an pada usia dibawah 5 tahun lengkap dengan tafsirnya maka anak kita lantas kita paksa hafalan seharian dilarang main padahal usianya terlalu dini, jelas ini tidak proporsional. Kenali kemampuan anak dan tentu ibu yang baik faham benar bakat anaknya
  • Berusahalah untuk selalu menghargai niat, usaha dan kesungguhan anak. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta kalian, tapi Allah melihat kepada hati (niat) dan amal-amal kalian.” (HR. Muslim no. 2564)
  • Jangan mencaci maki anak karena kegagalannya. Tapi berikan ungkapan-ungkapan yang bisa memotivasi anak untuk bangkit dari kegagalannya. Misal, “Abi tidak marah kok, Ahmad belum hafal surat Yasin. Abi tahu, Ahmad sudah berusaha menghafal. Lain kali, kita coba lagi ya.”
  • Tidak membentak, memaki dan merendahkan anak. Apalagi di hadapan teman-temannya atau di hadapan umum. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (An-Nisa`: 5)
  • Tidak membuka aib (kekurangan, kejelekan) yang ada pada anak di hadapan orang lain. Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa menutup (aib) seorang muslim, Allah akan menutup (aib) dirinya pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 2442)
  • Jika anak melakukan kesalahan, jangan hanya menunjukkan kesalahannya semata. Tapi berilah solusi dengan memberitahu perbuatan yang benar yang seharusnya dia lakukan. Tentunya, dengan cara yang hikmah. ‘Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu berkata:
كُنْتُ غُلَامًا فِي حِجْرِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: يَا غُلَامُ، سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
“Saat saya masih kecil dalam asuhan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya menggerak-gerakkan tangan di dalam nampan (yang ada makanannya). Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatiku, ‘Wahai ananda, sebutlah nama Allah (yaitu bacalah Bismillah saat hendak makan). Makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari makanan yang ada di sisi dekatmu’.” (HR. Al-Bukhari no. 5376)
  • Tidak memanggil atau menyeru anak dengan sebutan yang jelek. Seperti perkataan: “Dasar bodoh!” Ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ بِخَيْرٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ
“Janganlah kalian menyeru (berdoa) atas diri kalian kecuali dengan sesuatu yang baik. Karena, sesungguhnya malaikat akan mengaminkan atas apa yang kalian ucapkan.” (HR. Muslim no. 920)
  • Perbanyak ucapan-ucapan yang mengandung muatan doa pada saat di hadapan anak. Seperti ucapan:
بَارَكَ اللهُ فِيْكُمْ
“Semoga Allah memberkahi kalian.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (Al-Baqarah: 83)
Nb. Sering seringlah memanggil anak dengan sebutan misal “anak sholih, sudah makan belum?” “anak pintar ,ayo baca doa mau tidur dulu” karena ini juga adalah doa -semoga di aminkan oleh malaikat- dan juga sebagai pembentuk citra diri pada anak. Dalam memori otaknya akan tertancap kuat oo.. aku ini anak sholih, anak pintar dst. Kelak ketika dia tlah faham apa itu anak sholih insyaAlloh dia akan memfigurkan diri sebagaimana memori otaknya.-berdasar teori psikologi perkembangan-
  • Juga selalu mendoakan kebaikan bagi sang anak, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa’.” (Al-Furqan: 74)
  • Berusahalah untuk senantiasa berlaku hikmah dalam menghadapi masalah anak. Tidak mengedepankan emosi. Tidak mudah menjatuhkan sanksi. Telusuri setiap masalah yang ada pada anak dengan penuh hikmah, tabayyun (klarifikasi). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
“Dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.” (Al-Baqarah: 269)
  • Berusahalah bersikap adil terhadap anak-anak dan berbuat baik kepadanya.
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90)
  • Hindari sikap-sikap dan tindakan yang menjadikan anak mengalami trauma, blocking (mogok), malas atau enggan belajar. Sebaliknya, ciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، بَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا
“Permudah dan jangan kalian persulit. Gembirakan, dan jangan kalian membuat (mereka) lari.” (HR. Al-Bukhari no. 69)
Wallahu a’lam.
Oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

»»  baca selengkapnya...

Hikmah: Mendidik dengan Hati

Senin, 24 Januari 2011 14:18 WIB
Oleh H Amka***    

"Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada per ubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS ar-Ruum [30] : 30).

Pendidikan, galibnya bertujuan sangat mulia, yaitu membentuk manusia menjadi pribadi yang kuat, berkarakter khas, dan akhlak mulia. Dalam konteks Indonesia, tujuan dan fungsi pendidikan telah dirumuskan dengan indahnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Tiga poin pertama tujuan itu adalah membentuk peserta didik menjadi insan yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Namun kenyataannya, tujuan indah itu terdistorsi menjadi bersifat sangat materialistik-sekularistik.

Peserta didik seolah-olah segera melupakan semua petuah guru tentang nilai-nilai kebajikan dan norma agama begitu mereka lulus dari lembaga pendidikan formal. Tidak ada lagi yang tersisa dari nilai dan norma itu kecuali hanya sedikit, karena mereka harus berjibaku dengan kerasnya kehidupan. Inilah hidup mereka yang sebenarnya.

Dan, mereka harus keluar sebagai pemenang atau setidaknya tidak terpental dari orbit yang normal, lalu menjadi pecundang. Menarik sekali bila kita cermati akhirakhir ini, banyak petinggi negeri ini yang bicara tentang mendesaknya pelaksanaan pendidikan karakter dan budi pekerti (akhlak mulia) di sekolah dan kampus. Ini bisa dimengerti karena kita mendapati kenyataan betapa hasil pendidikan kita telah melenceng jauh dari yang dicita-citakan. Kita sedih bila melihat atau mendengar berita tentang buruknya perilaku para pelajar atau mahasiswa.

Mereka tawuran, terlibat narkoba, bahkan melakukan seks bebas.

Hati kita semakin miris saat mengetahui wajah dunia pendidik an kita juga ikut dicoreng oleh ulah segelintir oknum pendidik yang berperilaku tidak terpuji. Sesungguhnya pendidikan karakter dan akhlak mulia harus dimulai dari para pendidik. Mereka harus menjadi contoh dan teladan bagi para peserta didik dalam tutur kata dan tindakan.

Namun yang perlu juga diingat, bicara tentang pendidikan karakter dan akhlak mulia tidak lain bicara soal hati. Dan tidak ada yang mengerti soal hati kecuali Allah, Tuhan yang menciptakan manusia. Hanya firman Allah yang bisa menyentuh dan menyinari hati dengan cahaya kebenaran dan petunjuk. Sehingga, manusia kem bali kepada fitrah insaniah yang sebenarnya.

Agar tujuan pendidikan tercapai dan fungsinya juga terealisasi dalam kehidupan praktis, masyarakat Indonesia--yang mayoritas Muslim ini--harus menengok Alquran. Sebab, di sanalah melimpah-ruah `makanan' bagi hati anak-anak didik kita. Pendidikan karakter dan akhlak mulia, baru bisa berhasil bila menjadikan Alquran sebagai pedoman operasionalnya dan perilaku Nabi Muhammad SAW sebagai landasan etikanya.

Tanpa itu, rasanya kita seperti meraba dalam ruangan luas yang gelap gulita. Wallahu a'lam.

»»  baca selengkapnya...