twitter
rss



Tahun 2002 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor. Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu itu saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah. Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah.

Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya untuk melamun. Prestasinya kian lama kian merosot. Dengan lemah lembut saya tanyakan kepada Dika:

"Apa yang kamu inginkan ?" Dika hanya menggeleng.

"Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" tanya saya.

"Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat.

Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah untuk mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya kami pun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.

Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya. Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana skor untuk aspek-aspek kemampuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 - 160. Namun ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas). Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda itulah yang menurut psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh sebab itu psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika kembali ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian.

Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi salah satu atau beberapa faktor penghambat kemampuan verbal Dika. Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika. Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.

Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku :...."
Dika pun menjawab : "membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja" Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya merasa perlu menjadwalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku cerita, kapan waktunya main game di komputer dan sebagainya. Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. Saya selalu pusing memikirkan jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi ternyata permintaan Dika hanya sederhana : diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya.

Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "Aku ingin Ayahku ..."
Dika pun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya "Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan sesuatu"
Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa yang diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu. Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.

Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak ..."
Maka Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya"
Dalam banyak hal saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan itu merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana. Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika persis seperti diri saya. Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.

Ketika Psikolog memberikan pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak : .."
Dika pun menjawab "Tidak menyalahkan aku di depan orang lain. Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa"
Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan jujur. Kesulitan baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami lakukan untuk mencegah atau menghentikannya. Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.

Ketika Psikolog itu menuliskan "Aku ingin ibuku berbicara tentang ....."
Dika pun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang penting saja".
Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan gurunya. Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu yang penting untuk anak saya. Dengan jawaban Dika yang polos dan jujur itu saya dingatkan bahwa kecerdasan tidak lebih penting dari pada hikmat dan pengenalan akan Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu pengetahuan.

Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku berbicara tentang ......",
Dika pun menuliskan "Aku ingin ayahku berbicara tentang kesalahan-kesalahannya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku".
Memang dalam banyak hal, orang tua berbuat benar tetapi sebagai manusia, orang tua tak luput dari kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya sederhana, yaitu ingin orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahnya dan kalau perlu meminta maaf atas kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang tua kepadanya.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap hari ....."
Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar "Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk adikku"
Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi saya sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan supaya hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu saya tidak menyadari bahwa perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali oleh anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih kasih.

Secarik kertas yang berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap hari ...."
Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata "tersenyum"
Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu menahan senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap hari.

Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku. ..."
Dika pun menuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku dengan nama yang bagus"
Saya tersentak sekali! Memang sebelum ia lahir kami telah memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan. Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan Nang. Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata "Lanang" yang berarti laki-laki.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi "Aku ingin ayahku memanggilku .."
Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli".
Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan "Paijo" karena sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan logat Jawa medok. "Persis Paijo, tukang sayur keliling" kata suami saya. Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu karena selama ini saya bekerja di sebuah lembaga yang membela dan memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang saya kampanyekan pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan "To Respect Child Rights is an Obligation, not a Choice" sebuah seruan yang mengingatkan bahwa "Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan".

Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena telah memanggilnya dengan panggilan yang tidak hormat dan bermartabat. Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan. Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para orang tua tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya. Para orang tua harus mendidik anaknya di dalam lingkungan rumah.
»»  baca selengkapnya...
»»  baca selengkapnya...
»»  baca selengkapnya...
Semua Orang tua pasti menginginkan anaknya menjadi orang yang hebat, penuh pecaya diri, sukses, bisa menggapai cita-cita dalam hidupnya. Tentunya tak bisa instant menjadikan anak seperti ini. Perlu penanganan yang sabar, pendidikan terus menerus, dan keseriusan dari orang tua untuk mewujudkan hal itu, sejak kecil sampai ia besar dan mandiri. Tentunya mustahil berhasil kalau kita selaku orang tua hanya berpangku tangan, menunggu sampai saat berhasil itu tiba, datang begitu saja. Orang tua justru dituntut secara aktif membantu anaknya mencapai apa yang menjadi cita-citanya dan cita-cita mereka.

Bukan Pekerjaan Ringan

Mendidik anak agar kelak bisa menjadi orang hebat bukanlah pekerjaan ringan dan mudah. Sekolah atau tempat pendidikan Formal tak bisa 100% menjadi tumpuan untuk mencetak si kecil menjadi orang hebat sebagaimana yang kita harapkan. Banyak hal yang mempengaruhi keberhasilan si kecil. Perkembangan fisik, kejiwaan, serta lingkungan menjadi faktor penentu keberhasilan, dalam studi, berusaha, dan menggapai cita-citanya. Tak mungkin ia menentukan sendiri arah dan tujuan tanpa bimbingan kita, karena kita adalah orang tuanya, yang paling dekat dengannya, paling tahu perkembangan dan kejiwaannya.

Bagaimanapun, orang tua adalah yang paling banyak berinteraksi dengan si kecil. Merah putih, kuning hitam kehidupan si kecil tergantung kita dalam membuatnya. Oleh karena itu, salah kalau menginginkan dia hebat sementara kita tidak berusaha, hanya berpangku tangan, menggantungkan pada orang lain atau tempat pendidikan saja.



Banyak yang Keliru

Masyarakat kita ini banyak keliru dalam mendeskripsikan orang hebat. Umumnya, yang dikatakan orang hebat itu kalau punya pangkat atau derajat tinggi, materi banyak, dengan gelar yang berjajar. Intinya, berkutat pada perkara dunia. Padahal tidak seperti itu. Dalam Islam kalau masalah kehebatan, dunia bukanlah apa-apa dibanding dengan akhirat. Agama ini memandang bahwa yang namanya orang hebat adalah orang yang berilmu agama tinggi -seperti seorang ulama-, orang yang gagah berani di medan laga, dan orang yang berani mengorbankan jiwa raga demi tegaknya agama Allah di muka numi ini.

Itulah dia sebenar-benarnya orang hebat. Bisa kita Ambil ibrah dari orang-orang shalih jaman dulu, merekalah contoh dari orang-orang hebat yang banyak dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya.

Bukan maksud menyepelekan orang yang hebat dalam keduniaan, namun Islam mencela mereka yang hebat dunia namun bodoh dalam hal akhirat, dan yang begini banyak terjadi. Padahal, agama ini telah memperingatkan dengan jelas akan kerugian orang orang

yang pintar dalam hal dunia tapi bodoh dalam hal akhirat. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,

�Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) Akhirat adalah lalai.�(Ar-Ruum: 7)

Dengan demikian, sebagai orang tua perlu mendidik anaknya agar memahami agama terlebih dahulu, karena itulah ilmu yang paling utama. Bila anak mampu memahami agama, juga mampu mengamalkannya maka ia akan pula belajar ilmu dunia untuk memenuhi kebutuhan dunianya, untuk membantu saudaranya, agar ia tak sampai menggantungkan diri pada orang lain. Orang tua yang berkewajiban mengajarkan anak hukum-hukum agama, baca tulis Al-Qur'an, akidah, manhaj, dan yang lainnya. Perlu diajarkan pula ilmu dunia, agar nanti mampu mencari nafkah sendiri dan bisa menjadi anak mandiri.



Tanamkan Pada Dia

Semua anak berpotensi menjadi orang hebat, asal kita bisa mengarahkannya dengan benar. Walaupun kemampuan setiap anak berbeda-beda namun pada dasarnya setiap anak punya kemampuan lebih dibanding dengan yang lain, yang mungkin berbeda satu dengan yang lainnya. Tugas orang tua adalah menyalurkan kemampuan dan bakat anak ke arah yang benar dengan bimbingan syariat agama. InsyaAllah, anak kita menjadi anak-anak yang shalih, kuat, dan hebat.

Bagaimana caranya agar bisa mengarahkan si kecil untuk menjadi orang seperti itu? Tanamkan nilai-nilai Akhlak berikut ini, insyaAlah bisa jadi penunjuk bagi dia untuk berkembang ke arah sana, yaitu anak hebat berakhlak mulia.



1. Tanamkan Kepercayaan

Percaya pada orang lain adalah hal yang paling mendasar bagi seorang anak agar nantinya ia dapat membina hubungan dengan orang lain, membentuk rasa percaya dirinya, dan maju dalam setiap tahap proses perkembangannya. Oleh karena itu, hal itu harus ditanamkan sejak anak lahir. Dimulai dengan rasa percaya pada orang tua, seperti rasa aman kalau berinteraksi dengan kita, segera disusui ketika ia lapar, menggantikan popoknya saat kotor, memeluknya saat ia membutuhkan, dan lain sebagainya. Seiring dengan itu pula, ia mulai belajar untuk menuhmbuhkan rasa percaya pada orang lain dan dirinya sendiri. Setiap anak akan menunjukkan perilaku yang berlainan agar mereka diperhatikan orang tuanya. Semakin anak mengerti bahwa kita memahaminya, semakin tinggi tingkat kepercayaannya pada kita.



2.Tanamkan Kesabaran

Kita dapat menanamkan kesabaran padanya, dengan cara memberi contoh melakukan sesuatu yang butuh kesabaran, karena anak memiliki perilaku untuk meniru orang-orang di sekitarnya. Ia melihat, kemudian ia melakukannya.

Membanting pintu saat kita menutupnya sepulang bekerja karena kepenatan dan kemacetan lalu lintas, merupakan contoh yang sangat buruk bagi seorang anak. Tetapi membantu anak membersihkan susu yang ia tumpahkan ke lantai memberikan penglihatan yang lain bagi dirinya. Untuk melatih kesabaran anak, ajarilah dia untuk menunggu bukan dalam hitungan waktu, tapi dengan ukuran suatu keadaan. Jika anak meminta kita untuk mengambilkan sesuatu yang tidak dapat ia jangkau padahal kita sedang mengerjakan sesuatu, memasak misalnya, katakana padanya bahwa kita akan mengambilkan apa yang ia inginkan jika Anda telah selesai memasak, daripada kita mengatakan, �Iya, tunggu lima menit lagi�. Melalui hal ini, anak akan menilai sendiri berapa lama ia akan mendapatkan keinginannya dengan menunggu dan memperhatikan kapan kita selesai memasak.



3. Tanamkan Rasa Tanggung Jawab

Saat anak menjatuhkan botol susunya ke lantai dan melihat kita mengambilkan botol susu itu untuknya, ia akan mengulanginya lagi dengan sengaja. Hal ini menandakan bahwa ia mulai mengenal hubungan sebab akibat dan belajar bahwa ada konsekuensi dari apa yang dilakukannya. Ini adalah saat dimana kita dapat mulai melatih rasa tanggung jawab anak dengan memintanya melakukan hal-hal yang mudah, seperti mengembalikan mainan pada tempatnya. Agar anak juga tahu mengapa ia melakukan hal itu, kita harus memberitahukan maksud dari sesuatu yang kita ingin ia lakukan. Selaras dengan pertumbuhan dan perkembangannya, anak membutuhkan waktu untuk memahami kemudian melakukan sesuatu yang kita minta dalam rangka mendidiknya untuk mempunyai rasa tanggung jawa. Oleh karena itu, orang tua tidak dapat memaksakan atau sekaligus menanamkan begitu banyak tanggung jawab pada seorang anak.



4. Tanamkan Sikap Kemandirian

Kemandirian akan membantu anak untuk mempunyai rasa percaya diri dalam menginginkan dan memutuskan sesuatu bagi dirinya. Kita dapat menumbuhkan kemandirian pada anak dengan cara membiarkannya melakukan sesuatu yang dapat dilakukan oleh anak seusianya. Saat anak berusia 1 tahun, ajari dia makan sendiri menggunakan sendok, satu tahun berikutnya ajari dia berpakaian sendiri. Buatlah menjadi lebih mudah sesuatu yang dapat ia lakukan sendiri, seperti membelikannya sepatu tanpa tali pengikat, atau kaos yang agak longgar sehingga ia dapat mengenakannya sendiri. Namun saat anak membutuhkan Bantuan kita, berikan kepastian bahwa kita akan membantunya. Angkatlah ia supaya dapat mengambil mainan yang diinginkannya, saat ia tidak dapat menjangkaunya. Sesuai dengan pertambahan usianya, buatlah situasi di mana ia harus memilih satu dari beberapa pilihan. Kunci keberhasilan untuk menumbuhkan kemandirian pada anak adalah fleksibilitas, menyesuaikan perilaku saat kita berinteraksi dengan sang anak. Arahkan mereka hanya pada awalnya, kemudian biarkan mereka melakukan dan memutuskan sendiri sesuatu sesuai dengan proses perkembangannya menjadi dewasa. Jika orang tua mengintervensi terlalu banyak, anak akan sulit menumbuhkan rasa percaya diri pada kemampuan sendiri dan ia tak dapat belajar untuk bertahan saat ia menghadapi kesulitan.



5. Tanamkan Rasa Empati

Seorang anak terkadang menunjukkan bentuk primitif dari sikap empati, misalnya dengan menangis saat ibunya sedang menagis. Sebenarnya seorang anak belum mengerti akan perasaan orang lain sebelum usianya 3-6 tahun. Seorang anak yang berumur 2 tahun tidak akan tahu bahwa dengan menggigit lengan kakaknya berarti ia telah menyakitinya, karena pada saat itu ia sendiri tidak merasakan sakit. Untuk membantu anak memiliki rasa empati, orang tua harus memberitahukan pada anak saat ia melakukan sesuatu yang dapat menyakiti, membuat sedih atau marah orang lain. Katakan padanya, bagaimana jika hal yang sama dilakukan pada dirinya. Katakanlah hal ini berulang-ulang, karena seorang anak umumnya mempunyai sifat egosentris, ia tidak akan memikirkan sesuatu yang tidak langsung ia rasakan. Pada dasarnya orang tua harus memberi contoh dengan melakukan segala hal yang ingin dilakukan anak-anak terhadap orang lain, maksudnya adalah dengan memberikan perhatian pada setiap kebutuhan mereka serta menghargai perasaan mereka, karena sikap empati adalah kunci untuk menuju keberhasilan seseorang dalam bersosialisasi.
»»  baca selengkapnya...
Senin, 13 Juli 2009 | 18:17 WIB
ARUM TRESNANINGTYAS DAYUPUTRI/KOMPAS
Ilustrasi: "Kalau ada anak yang tidak pandai dalam mata pelajaran, bukan berarti dia juga bodoh dalam hal lain. Dengan ekstrakulikuler ini kita bisa menggali bakat terpendam anak," ujar Alex, ditemui di kantornya, Senin (13/7).

JAKARTA, KOMPAS.com — Manusia dianugerahi dengan otak kiri dan kanan. Oleh karena itu, kecerdasan anak tidak hanya dapat dilatih dengan cara belajar di kelas. Kecerdasan juga bisa diasah melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler.
Demikian hal itu dikatakan oleh Alex Djumidi, Kepala Sekolah SDN 02 Pagi Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Dengan memegang prinsip itu, sejak beberapa tahun yang lalu Alex rajin menggalakkan ekstrakurikuler di sekolahnya.
"Kalau ada anak yang tidak pandai dalam mata pelajaran, bukan berarti dia juga bodoh dalam hal lain. Dengan ekstrakurikuler ini kita bisa menggali bakat terpendam anak," ujar Alex, ditemui di kantornya, Senin (13/7).
Saat ini, SDN 02 Pagi mempunyai berbagai ekstrakurikuler, seperti menari, bernyanyi, kasidah, mengaji, dan sains. Tenaga pengajar ekskul diambil dari tenaga luar. Kebanyakan dari mereka berasal dari kenalan para guru ataupun wali murid.
Para murid pun dengan senang hati mengikuti ekskul tersebut. Setiap Jumat sore dan Sabtu mereka antusias mengikuti berbagai kegiatan tambahan itu.
Usaha Alex rupanya tak sia-sia. Murid-murid kesayangannya sering kali memenangkan lomba di berbagai ajang. Belum lama ini murid-muridnya berhasil merebut juara II Lomba Mengarang dan Bercerita Tingkat Nasional.
"Baru-baru ini kami juga memenangkan lomba tari dan lomba vokal, serta lomba sains tingkat nasional dan kotamadya," jelas Alex. Di ruangan kerjanya itu, piala-piala kemenangan tersebut tampak memenuhi dua buah lemari.
Selain itu, prestasi murid-murid sekolahnya itu juga semakin diakui. Sejak 2007 silam, sekolah tersebut menjadi Sekolah Standar Nasional. Selain itu, pada 2008/2009 lalu, nilai ujian akhir SDN 02 Pagi Lebak Bulus menduduki rangking lima dari 49 SD yang ada di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.
"Semua itu membuktikan usaha yang kita lakukan tidak sia-sia, prestasi kita mulai diakui," tandas.
»»  baca selengkapnya...
Selasa, 7 Juli 2009 | 15:31 WIB

KOMPAS.com
 - Bahasa adalah alat komunikasi manusia di muka bumi ini. Jadi, betapa penting kemampuan bahasa ini, tak terkecuali bagi anak. Itulah mengapa, kemampuan bahasa harus sudah diajarkan padanya sejak dini, khususnya bahasa ibu.
Menurut Edward Andriyanto Soetardhio, M.Psi., dari Fakultas Psikologi UI,  perkembangan bahasa setiap anak intinya sama—bahkan pada anak dengan bisu dan tuli—hingga tahapcooing. Jangan salah, anak bisu tuli pun akan mengalami tahap babbling, hanya saja lebih terlambat daripada anak normal. Masuk tahap selanjutnya, anak bisu tuli tidak bisa mengikuti, yaitu berceloteh hingga mampu mengucapkan suku kata yang menggunakan konsonan dengan kombinasi vokal.
Walau tahap alamiah bahasa akan dilalui anak normal, namun—sekali lagi—kita tetap mesti memberikan stimulasi agar anak bisa menapaki jenjang perkembangan bahasanya dengan benar dan sesuai dengan tahapannya. Nah, berikut ini tip-tip mengembangkan kemampuan/kecerdasan bahasa anak berdasarkan tahapan usianya.
Usia bayi
1. Ajak bayi untuk banyak berbicara. Aturlah nada bicara Anda supaya rendah dan lembut, sehingga tidak mengagetkan si kecil. Tatap wajah si bayi, dan ucapkan kata-kata dengan jelas alias tidak bergumam.
2. Lakukan aktivitas bervariasi untuk merangsang kecerdasan bayi, entah dengan bermain, bernyanyi, dan sebagainya. Yang harus diingat, dalam sebuah aktivitas sangat mungkin beberapa kecerdasan ikut terstimulasi. 
3. Berikan mainan yang menstimulasi kecerdasannya seperti mainan yang dapat mengeluarkan suara. 
4. Di usia 9 bulan pilihkan juga buku cerita dengan cerita menarik dan gambar yang besar. Kenalkan juga semua hal yang dilihat bayi di buku cerita, lakukan secara berulang-ulang sehingga kosakata yang dikenalnya semakin bertambah.
5. Kenalkan juga anggota tubuh si kecil seperti tangannya, hidung, mata, dan anggota tubuh lainnya. Bimbing bayi agar mengenali anggota tubuhnya tersebut. Mulailah dengan anggota tubuh orangtua dulu seperti hidung, selanjutnya tunjuk juga hidung bayi.   
6. Meski belum bisa berbicara, mulai usia sekitar 9 bulanan bayi dapat melakukan perintah sederhana seperti melempar bola, mengambil mainan dalam jangkauannya, dan lain-lain.
Usia batita
1. Si kecil mulai berbicara dengan menggunakan satu kata atau lebih. Tetapi saat berbicara suaranya masih cadel. Nah, orangtua harus segera memberikan stimulasi yang benar yaitu memperbaiki cara berbicara anak dengan menggunakan bahasa yang dipahami orang lain. Ketika anak berkata, “Ma… num” (maksudnya, minta minum), segera luruskan, “Oh, Adek mau minum.” 
2. Sering-seringlah mengajaknya ngobrol. Semakin banyak waktu yang digunakan untuk berbicara bersama, akan semakin banyak kosakata anak.
3. Lakukan stimulasi lewat bercerita. Rangsang anak dengan apa yang ada di buku cerita. “Ini ada gambar binatang berleher panjang dan berkaki empat, namanya apa ya…? Betul, jerapah.” Dengan cara itu, kosakata anak ikut bertambah. 
4. Berikan instruksi sederhana, “Yuk, kita lipat kertasnya.” Cara ini selain melatih bahasa, juga mengasah motorik halusnya. 
5. Bermain pura-pura atau peran juga dapat dikenalkan, entah bermain masak-masakan, dokter-dokteran, bertelepon, dan sebagainya.
Usia prasekolah
1. Berikan dua perintah sederhana, “Ambil bola dan tendang ke gawang.”  
2. Bermain tebak-tebakan, “Binatang yang hidup di air apa, ya?”
3. Minta anak menceritakan pengalamannya di sekolah, namun jangan sekali-kali memotong cerita anak. Simak dan perhatikan baik-baik apa yang diceritakan. Bangun suasana gembira saat bercerita.
4. Bila anak berkata tidak jelas, minta dia mengulangi kata itu sehingga ia dapat mengucapkannya dengan jelas.
5. Ajarkan anak menyanyi. Untuk permulaan, kenalkan dengan lagu pendek yang sederhana. Bila memungkinkan, iringi dengan musik. 
6. Berikan kesempatan kepada anak untuk memilih dan mengambil keputusan, misal, saat membeli mainan atau buku. Setelah membeli, minta pendapat anak tentang barang yang baru dibelinya.
Usia sekolah
1. Ajari anak mencintai buku. Caranya, ajak anak ke perpustakaan, toko buku, pameran, dan sebagainya. Dorong anak untuk membeli buku kesukaannya, lakukan diskusi kecil tentang buku yang baru dibelinya. Selain kosakata bertambah, lewat buku, kemampuan kognitif anak juga turut terasah.
2. Minta anak menceritakan pengalamannya di sekolah. Selain bercerita secara langsung, kemukakan pengalaman itu dalam catatan hariannya. 
3. Minta anak membuat puisi, cerita pendek, dan lain-lain. 
4. Bila anak terlihat berbakat, jangan ragu untuk memasukkannya ke kegiatan yang sesuai dan ikut pentas, entah pentas seni (membaca puisi) di sekolah, ikut komunitas dongeng, belajar menulis, dan lain-lain. 
(Gazali Solahuddin)
»»  baca selengkapnya...
Jumat, 24 Juli 2009 | 17:39 WIB
Shutter Stock
Anak mulai suka bermain peran.

KOMPAS.com - Apakah si Upik yang sudah pandai bicara dan berhitung di usia 2 tahun bisa dibilang anak cerdas? Bagaimana dengan anak yang telah lancar membaca di usia 4 tahun, layakkah disebut cerdas?

Inteligensi yang tinggi seringkali dikaitkan dengan orang yang punya kemampuan secerdas Albert Einstein. Padahal, hingga saat ini belum ada ahli yang bisa merumuskan definisi kecerdasan dengan tepat. 

Meski belum ada definisi pasti mengenai kecerdasan, menurut psikolog Roslina Verauli, M.Psi, secara umum kecerdasan merupakan kapasitas yang dimiliki individu sehingga memungkinkan ia untuk belajar, bernalar, dan memecahkan masalah serta melakukan tugas-tugas kognitif tingkat tinggi lainnya.

Apa saja tugas-tugas kognitif tingkat tinggi itu? "Kemampuan berbahasa, daya ingat yang baik, mampu memecahkan masalah, serta kemampuan berpikir kritis atau menalar," kata psikolog yang akrab disapa Vera ini. 

Tentu saja, kecerdasan pada bayi usia di atas lima tahun tidak sama dengan kecerdasan pada balita. Pada usia bayi, kecerdasannya masih seputar perkembangan kemampuan motorik dan bahasa. Sedangkan pada usia balita, kemampuan ini berkembang menjadi kemampuan motorik kasar, motorik halus, bahasa, hingga kemampuan personal dan sosial. Bila anak menunjukkan kemampuan yang melebihi anak seusianya, dapat dikatakan ia memiliki kapasitas belajar yang baik alias cerdas.

Kecerdasan pada anak bisa dideteksi sejak dini, bahkan sejak ia baru lahir. Untuk mengukurnya, orangtua perlu memahami status perkembangan yang normal pada bayi dan balita. Misalnya saja pada usia 6 bulan, bayi seharusnya mampu belajar duduk dan bisa memegang benda kecil atau makan kue yang diberikan. 

Atau anak usia dua tahun seharusnya sudah mulai berkomunikasi dengan kata-kata, serta penuh rasa ingin tahu. "Orangtua harus peka dan bisa mendeteksi sejauh mana perkembangan kemampuan anaknya. Kalau ada keterlambatan, langsung diwaspadai apakah tumbuh kembangnya terhambat atau memang orangtua kurang menstimulasi," kata Vera. 

Sebagai pedoman, ada beberapa tahap perkembangan yang dianggap normal dalam arti sudah bisa dikuasai oleh anak pada usia tertentu. 

0-3 bulan: 
Hanya menampilkan respons refleks atas stimulus. Bahasa yang dikuasai hanyalah berupa tangisan.

4 bulan: 
Mulai memiliki kontrol atas tubuhnya sendiri dan menunjukkan awal mula kemampuan motorik halus. Mulai mampu merespons secara sosial dengan senyuman dan bunyi-bunyian.

6 bulan: 
Mulai belajar duduk dan merangkak. Sudah memiliki kemampuan mengontrol gerakan tangan sehingga mampu memegang benda kecil atau makan kue yang diberikan. Bahkan sudah memiliki kemampuan koordinasi mata dan tangan untuk menggapai benda.

9 bulan: 
Sudah mulai mampu menggunakna jari jemarinya untuk makan sendiri. Mulai mencoba merangkak dan berdiri. Mencoba menggunakan kata atau suku kata sederhana.

12 bulan (tahun pertama): 
Terlihat perkembangan yang cukup pesat pada anak dan ia mulai menunjukkan kemampuan menguasai berbagai hal.

Tahun ke-2: 
Mulai independent, senang mengeksplorasi, penuh rasa ingin tahu, mencoba berbagai kemampuan baru, berkomunikasi dengan kata-kata, mencoba memahami sebab-akibat melalui kemampuan motorik, dan menguasai proses belajar dalam arti yang sesungguhnya.

Tahun ke-3: 
Anak sudah menunjukkan penguasaan yang jauh lebih baik pada berbagai alat untuk belajar, seperti bahasa, ingatan, kemampuan motor, dan perasaan tentang dirinya sendiri.

Tahun ke-4 dan ke-5: 
Kemampuan belajar anak jauh lebih berkembang sehingga memungkinkan ia menerima proses belajar secara formal.

»»  baca selengkapnya...
Senin, 27 Juli 2009 | 14:08 WIB
KRISTIANTO PURNOMO/KOMPAS.COM
Ilustrasi: Buku cerita yang penuh aneka gambar dan warna juga mainan menarik untuk anak. Dengan mengenalkan dan menambah kosa kata baru untuknya, kemampuan Anda mengolah cerita di buku tersebut akan melatihnya secara tak langsung mengenal huruf
TERKAIT:
JAKARTA, KOMPAS.com - Azka Qinthara (3) tengah gandrung meniru apapun yang terlihat olehnya di layar kaca, khususnya adegan orang sedang bermain gitar. Jadilah, setiap memegang benda apapun yang dipegang lantas disulapnya menjadi gitar dan mengubahnya menjadi seorang gitaris.
Bukan hanya Azka, banyak lagi balita berlaku serupa. Tidak usah heran, apalagi khawatir selama Anda sebagai orang tua bisa mengawasi dan mengarahkan. Karena pada akhirnya, ada berbagai macam benda atau mainan dan permainan yang bisa berguna membantu kecerdasan balita Anda.
Hal tersebut seperti dikemukakan oleh Muhammad Rizal, Psi, di acara Smart Parents Conference bertajuk 'Aneka Permainan yang Mencerdaskan Anak' yang diselenggarakan oleh Tabloid Nakita di Jakarta, Sabtu (25/7). Menurutnya, pada saat ini kecerdasan anak sudah sedemikian maju dan kompleks, sehingga membutuhkan stimulasi yang lebih untuk mengembangkan mereka. 
"Usia anak sudah mulai bisa berkomunikasi dalam bentuk percakapan sederhana dan sudah memiliki kemampuan pemecahan masalah dan ini saat yang tepat untuk mengembangkan kepercayaan dirinya," ucapnya. 
Judul Baru
Terutama balita, bermain memang kesukaan semua anak, baik perempuan maupun laki-laki. Dan sebagai orang tua, sudah semestinya kita dapat memilih mainan untuk mereka.
Namun, ada baiknya bukan semata mainan yang mereka sukai, tetapi usahakan mainan yang sekaligus bisa untuk mendidik pertumbuhan kecerdasannya. Seperti apa saja permainan atau mainannya, simak berikut ini:
- Musik membantu perkembangan otak balita. Namun, lantaran itu Anda tak perlu secara khusus mengajarnya memainkan gitar. Anda cukup membelikannya gitar ukuran kecil untuk anak-anak dan kaset atau CD lagu anak-anak yang disukainya.
- Jika tidak dengan sepeda roda tiga, gunakan balok kayu yang ditaruh di atas permukaan tanah. Ajak balita Anda berjalan di atasnya, selain bisa untuk melatih keseimbangan, permainan balok keseimbangan (balance beam) ini juga sangat berguna untuk menempa saraf motoriknya
- Di usia 3 tahun anak bukan lagi bisa bermain tangkap atau lempar bola, tapi sudah bisa memainkanya sebagai permainan laiknya orang dewasa. Fokus pada sesuatu, kepatuhan, serta kepercayaan diri akan menjadi gol yang menarik dari permainan ini bersamanya.
- Panjat tangga atau perosotan dan petak umpet merupakan permainan sederhana tetapi sangat baik untuk balita, karena bukan saja bisa membuatnya riang melainkan juga untuk melatih fokus, konsentrasi, dan daya refleksnya
Tips Membeli Mainan
Kini, semakin banyak variasi mainan anak bisa ditemukan di berbagai pusat belanja dan toko mainan. Bukan hanya dari produk lokal Indonesia, bahkan impor pun kian membanjiri pasar mainan anak.
Untuk itu, kini semakin tidak bisa sembarang memilih mainan. Karena, belum tentu mainan-mainan tersebut bermanfaat dan cocok untuk anak Anda, sebab belum tentu semua mainan edukatif dan membantu mengembangkan kecerdasan balita Anda.
Nah, bagaimana memilih mainan anak yang edukatif dan aman untuknya di toko-toko mainan yang keberadaannya kian semudah membalik telapak tangan?

- Untuk kenyamanan dan keselamatan balita Anda, sangat penting untuk memerhatikan label mainan satu per satu. Tanpa keterengan tersebut, Anda tidak bisa mengetahui, apakah mainan itu bisa direkomendasikan atau cocok untuk usia balita Anda
- Pilih mainan yang tidak mudah rusak atau copot, hal ini juga untuk keamanan balita Anda agar tidak melukai dirinya saat bermain
- Buku cerita yang penuh aneka gambar dan warna juga mainan menarik untuk anak. Dengan mengenalkan dan menambah kosa kata baru untuknya, kemampuan Anda mengolah cerita di buku tersebut akan melatihnya secara tak langsung mengenal huruf 
- Main rumah-rumahan di tempat tidur? Ini paling sering dilakukan oleh anak, maka itulah jangan Anda melarangnya. Biarkan anak Anda menyusun bantal, guling, selimut seolah-olah tengah membuat bangunan rumahnya sendiri. Untuk mendukung mainan barunya itu, kini banyak toko mainan menawarkan balok dan rumah-rumahan dari plastik dengan ukuran besar dan kecil, tergantung kebutuhan dan usia anak.
- Untuk melatih otaknya berpikir logis dan membiasakannya menyesaikan sebuah masalah, ajak balita Anda memainkan jigsaw puzzle dengan ukuran yang tidak terlalu kecil untuknya

»»  baca selengkapnya...